Senin, 11 November 2013

Kematangan beragama



KEMATANGAN BERAGAMA
Disusun Untuk Memenuhi TugasMata Kuliah: PSIKOLOGI PEMBELAJARAN
Dosen Pengampu: DR. SEKAR AYU ARYANI, M.A




Disusun oleh:
ABDUL GANI JAMORA NASUTION
MIZANTO
WIJAYANTI WULAN SEPTI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013



KEMATANGAN BERAGAMA
A.      Pendahuluan
Penjelasan  mengenai kematangan beragama semata-mata ingin memberikan gambaran secara eksplisit tentang berbagai elemen penting yang melandasi kematangan beragama seseorang, yang merupakan pengalaman puncak (peak experience) yang sangat tinggi dalam proses pencarian jati diri dari suatu agama. Kematangan beragama telah mengidentifikasi bahwa seseorang memiliki landasan teologis yang kuat disertai dengan pengaplikasian nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran sebuah agama. Dengan kata lain, kematangan beragama merupakan nilai-nilai spiritual yang mencapai kedewasaan dalam mengimplementasikan substansi agama secara holistik, bukan parsial.
Memahami gambaran sekilas tentang kematangan beragama seseorang, pemakalah mengajak berpikir sejenak bahwa kematangan seseorang dalam memahami kandungan agama tidak bisa diperoleh dalam waktu yang singkat, akan tetapi melalui proses panjang yang sangat melelahkan dan membutuhkan kesabaran dalam mencapainya.sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut tata cara berpikir, bersikap, berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.
Tulisan singkat ini, pemakalah akan menjelaskan sebuah pengantar tentang yang terkait dengan kematangan beragama (mature religion) dengan pembahasan: pengertian kematangan beragama, kriteria kematangan beragama menurut psikolog, hubungan kematangan dengan kepribadian, faktor-faktor penghambat kematangan beragama.Penulis menyadari, paper ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, penulis mengharapkan kritik-kontributif dari saudara-saudari pembaca, khusunya dari dosen pengampu mata kuliah untuk penyempurnaan tulisan ini.
B.       Pengertian Kematangan Beragama
            Pencapaian tingkat stabilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (maturity).[1] Sedangkan di dalam Kamus Lengkap Psikologi, kematangan (maturity) diartikan keadaan telah mencapai satu bentuk kematangan atau kedewasaan secara psikologis atau perkembangan penuh dari intelegensi dan proses-proses emosional.[2] Kematangan menurut Slameto, yaitu suatu keadaan yang menimbulkan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan dan ini berhubungan dengan fungsi-fungsi tubuh/jiwa sehingga terjadi differensiasi.[3]
            Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kematangan beragama merupakan kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut kenyakinannya agama tersebutlah yang terbaik, maka ia berusaha menjadi penganut yang baik. Kenyakinan itu ditampilkan dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agama.

C.      Kriteria Kematangan Beragama Menurut Psikolog
            Dalam memahami kematangan beragama, tidak boleh hanya melihat dalam satu perspektif saja. Namun bagaimana seseorang bisa mengkomparasikan kematangan beragama dalam pemahaman yang lebih universal, sehingga memberikan cakupan pengetahuan yang komprehensif dan holistik. Hal ini bertujuan, agar pemahaman yang didapat tidak bersifat parsial. Dalam konteks ini, ada dua pandangan yang sangat relevan dengan pemahaman kematangan beragama, diantaranya:
            Pertama, dari sudut pandang individu dapat dipahami sebagai esensi yang tinggi dari perkembangan kedewasaan beragama, walaupun hal itu dalam aspek individu kurang berarti dan berbeda dari yang lain. Dengan kata lain, sudut pandang yang pertama adalah sangat signifikan bagi kematangan beragama. Kedua, dari sudut pandang universal dimana seseorang dapat berpikir bahwa konsep ideal itu menunjukkan bahwa perkembangan keagamaan dapat diukur dan dikomparasikan dengan pandangan yang lain.
            Diskusi tentang kematangan beragama pada gilirannya akan mengantarkan pada satu pernyataan bahwa agama adalah yang terbaik, paling efektif dalam menopang kematangan seseorang di berbagai sektor kehidupan. Maka tak berlebihan kalau pemahaman kematangan beragama selalu terkait dengan spirit keagamaan seseorang dalam mencapai pengalaman dan kesadaran beragama. Untuk lebih jelas memahami kematangan beragama, berikut kriteria kematangan beragama menurut para psikolog:
1.        Kematangan Beragama Menurut Allport
          Dalam pemikiran psikologi, Allport adalah salah seorang yang memiliki pertimbangan cukup serius terhadap konsep kematangan beragama. Konsep kematangan beragama menurut Allport adalah sebagai berikut:
a.         Kematangan beragama yang pertama adalah kemampuan melakukan diferensiasi (kemampuan untuk dapat membedakan antara hak dan kewajiban)[4] atau kritik terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki rasa ini mempunyai kemampuan untuk memahami dirinya sendiri.
b.        Selanjutnya, Allport menemukan bahwa kematangan beragama terkait dengan sebuah kekuatan motivasi dari diri sendiri. Konsep ini dikembangkan melalui “functional autonomy” sebagai motivasi karakter.
c.         Allport berpikir bahwa kematangan beragama adalah konsistensi dari konsekuensi moral. Dalam konteks ini, perkembangan logika dipengaruhi oleh motivasi agama yang memiliki kekuatan terhadap perilaku seseorang.
d.        Yang berhubungan dengan konsistensi kematangan beragama adalah comprehensiveness sebagai filosofi kehidupan. Dalam konteks ini, Allport hendak mengatakan bahwa poin penting dari kenyakinan yang komprehensif salah satunya adalah mengedepankan keberagaman yang luas, universal dan sikap toleran dalam artian mampu menerima perbedaan.
e.         Jika segala sendi kehidupan telah komprehensif maka salah satu indikasi kematangan beragama dalam pandangan Allport adalah bersifat integral. Dalam artian orang yang memiliki kematangan beragama pasti dalam hidupnya akan keharmonisan dan kedamaian sesuai dengan tujuan awalnya untuk dekat dengan Tuhan. 
f.         Terkahir, Allport mengatakan bahwa kriteria kematangan beragama sangat ditentukan oleh sikap heuristik (terus belajar mencari kebnenran yang  hakiki, baik mencari hadis, dalil, ayat yang kuat), yang terdapat dalam pribadi manusia masing-masing. Setiap individu akan menyadari keterbatasannya dalam beragama, serta selalu berusaha meningkatkan pemahaman dan penghayatannya dalam beragama.[5] Mereka mengetahui diri mereka dan menerima keterbatasan-keterbatasan mereka dan tidak terpukul oleh keterbatasan-keterbatasan itu. Singkatnya orang yang matang mengetahui diri mereka siapa dan karena itu mereka aman dalam hubungan mereka dengan diri mereka dan dunia sekitar.[6]

2.        Kematangan Beragama Menurut William James
          Konsep kematangan beragama yang digagas William James, sebenarnya tidak berbeda dengan para psikolog lain yang juga mempunyai sikap concern terhadap aspek penting dalam psikologi agama. Kematangan beragama dalam pandangan James, lebih menitikberatkan pada pengalaman keagamaan yang telah direngkuh seseorang dalam rangka mencari jati diri dan makna hidup yang sebenarnya.
          Dalam konteks ini, James membagi kriteria kematangan beragama dalam empat aspek yang merupakan kondisi terdalam jiwa manusia.
a.         Sensabilitas akan eksistensi kekuasaan Tuhan. Kekuasaan ini seringkali diidentifikasi sebagai manifestasi Tuhan, tetapi tidak jarang juga berkaitan dengan hal-hal yang mistis yang tidak bisa dipahami manusia.
b.        Kesinambungan dengan esensi Tuhan dan pasrah diri. Kesinambungan dipahami telah terjadi keselarasan yang pada gilirannya dapat mengontrol ego manusia, sehingga menciptakan keramahan dan persahabatan antarsesama.
c.         Perubahan emosi yang terdalam. Dalam konteks ini, kematangan dalam konsep James dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap stabilitas dan konsistensi emosi seseorang sehingga perubahan emosi tersebut dapat terkontrol dengan sempurna dan tanpa mengedepankan ego yang berlebihan.
d.        Perasaan bahagia, kasih sayang, dan keharmonisan akan tumbuh berkembang, jika seseorang sudah matang dalam melaksanakan agama. Tak heran, kalau kematangan beragama seringkali dipahami sebagai bagian dari kedamaian hati yang terdalam sehingga bisa menciptakan keselarasan dalam hidup.[7]

3.        Kematangan Beragama Menurut Wiemans dan Fromm
          Diantara para psikolog, Wiemans dan Fromm adalah psikolog yang memiliki kontribusi signifikan dalam perkembangan kematangan beragama manusia. Dalam bukunya yang berjudul Normative Psychology of Religion, Wiemans mendiskripsikan apa yang disebut “norma” atau standar untuk mengukur perkembangan agama. Norma di sini dimaksudkan aturan keunggulan ideal yang membantu bagaimana perkembangan agama seseorang mendekati kesempurnaan.
          Dalam konteks inilah, Wieman membagi norma atau standar kematangan beragama sesuai dengan tingkatannya masing-masing, (a) tujuan hidup layak ditinjau dari segi kemanusiaan, (b) loyalitas yang sempurna, (c) efisiensi dalam mencapai tujuan, (d) sensifitas dalam memandang nilai, (e) loyalitas yang terus tumbuh, (f) loyalitas yang seacra sosial efektif. Sedangkan Fromm memaparkan kematangan beragama dapat ditinjau dari dua aspek penting yang sangat mendukung kematangan seseorang dalam mencapai makna hidup yang sebenarnya. Fromm membandingkannya dalam dua konteks:
a.    Keagamaan otoriter, yang dipahami sebagai sebuah ajaran yang datang dari luar dan bersifat otoriter atau mengekang terhadap pribadi seseorang.
Agama datang bukan dari lubuk hati. Ex. Shalat lima waktu komplen.
b.    Keagamaan humanis. Agama matang adalah agama humanis. Konsep ini dipahami sebagai bentuk kerinduan akan nilai agama dalam pribadinya sehingga bersifat humanis.[8] Ex. Agama sesuai dengan panggilan jiwanya. Shalat sesuai perintah/kewajiban.
Clark mencoba menemukan benang merah, ada 4:
1)      Kegamaan yang matang ditandai oleh Kapasitas untuk tumbuh (heusristik,
2)      Kerendahan hati
3)      Senantiasa melakukan kehendak tuhan
4)      Agama merupakn konsen utama
4.        Kematangan Beragama Menurut William Starbuck
Menurut William Starbuck, ada dua faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, diantaranya:
a.    Faktor intern
1)        Temperamen
Tingkah laku yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang. Seseorang yangmelankolis, misalnya akan berbeda dengan orang yangberkepribadian dysplastis dalam sikap dan pandangannya terhadap agama. Hal demikian juga akan mempengaruhi seseorang dalam kematangan beragama.
2)        Gangguan jiwa
Orang yang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya. Tindak tanduk keagamaan dan pengakuan keagamaan seseorang yang ditampilkan pada gangguan jiwa yang mereka rasakan.

3)        Konflik dan keraguan
Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama, seperti taat, fanatik, agnotis, maupun ateis.
4)        Jauh dari Tuhan
Orang yang hidupnya jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup terutama saat menghadapi musibah
Adapun ciri-ciri mereka yang mengalami kelainan kejiwaan dalam beragama sebagai berikut: pesimis, intorvet, menyanyagi paham ortodoks, dan mengalami proses keagamaan secara graduasi.[9]

b.    Faktor ekstern
1)      Musibah
Seringkali musibah yang sangat serius dapat mengguncangkan seseorang dan kegoncangan tersebut seringkali memunculkan kesadaran, khususnya kesadaran keberagamaannya. Mereka merasa mendapatkan peringatan dari Tuhan.
2)      Kejahatan
Mereka yang hidup dalam lembah hitam pada umumnya mengalami kegoncangan batin dan rasa berdosa. Perasaan tersebut mereka tutupi dengan perbuatan yang bersifat kompensatif, seperti melupakan sejenak dengan foya-foya dan sebagainya. Tidak jarang pula melakukan pelampiasan dengan tindak brutal, pemarah, dan sebagainya. Adapun ciri-ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama antara lain: optimisme dan gembira, ekstrovert dan tidak mendalam, menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal.


D.      Hubungan Kematangan dengan Kepribadian
            Kematangan merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan seseorang yang dapat dilihat dari perubahan tingkah laku. Kematangan dapat membedakan mana yang termasuk perbuatan baik dan buruk, memberikan contoh yang baik kepada sesama yang berasal dari pengalaman-pengalaman masa lalu sehingga seseorang mampu mengendalikan perilaku dan tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan dengan pandangan masyarakat.
            Kematangan tidak bisa terlepas dari kepribadian, karena kepribadianlah yang menjadi acuan pembentuk kematangan. Untuk itu perlu dicermati hubungan antara kematangan dengan kepribadian. Kepribadian berasal dari bahasa Yunani per dan sonare, yang berarti topeng, tetapi juga berasal dari kata personare yang berarti pemain sandiwara, yaitu pemain yang memakai topeng tersebut.[10]
            Allport mengatakan bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam individu yang terdiri atas berbagai sistem psiko-fisik[11]yang bekerja sebagai penentu tunggal dalam menyesuaikan diri pada lingkungannya. Istilah dynamic dalam definisi tersebut menunjukkan bahwa pada hakikatnya kepibadian itu dapat berubah baik dalam hal kualitas maupun tingkah lakunya. Sedangkan kata “organisasi” merujuk pada pengertian bahwa kepribadian itu terbentuk sebagai sebuah struktur yang kokoh.[12] Jadi dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah totalitas sifat manusia baik fisik maupun psikis yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya yang terbentuk karena hasil interaksi dengan lingkungannya.[13]


1.      Struktur dan Dinamika Kepribadian
           Struktur kepribadian yang dimaksud disini adalah aspek-aspek atau elemen-elemen yang terdapat pada diri manusia yang karenanya kepribadian terbentuk.[14] Berbicara tentang struktur kepribadian tidak terlepas dari tokoh yang telah merumuskan teori dan struktur kepribadian, yaitu Sigmund Freud. Ia membagi struktur kepribadian ke dalam tiga komponen, diantaranya: id, ego dan super-ego. Jika ketiga komponen itu bekerja dalam suatu susunan yang harmonis maka akan tercipta jiwa yang sehat namun apabila ketiga sistem tersebut bekerja secara bertentangan satu sama lainnya maka orang tersebut dinamai sebagai orang yang tak dapat menyesuaikan diri. Dengan kata lain efisiensinya menjadi berkurang.
2.      Kepribadian dan Sikap Keagamaan
           Sikap (attitude) yaitu satu predisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus menerus untuk bertingkahlaku atau mereaksi dengan satu cara tertentu terhadap pribadi lain, objek, lembaga, atau persoalan tertentu.[15] Sikap dipandang sebagai reaksi-reaksi afektif terhadap objek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pengalaman dan penghayatan individu. Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan sebagai pengaruh bawaan (faktor intern) seseorang serta tergantung objek tertentu.[16]
           
                 Menurut Syaifuddin Azwar terdapat dua pendekatan dalam membahas sikap:
1.      Memandang sikap sebagai reaksi afektif, perilaku dan kognitif terhadap suatu subjek, ketiga komponen tersebut secara bersama mengorganisasikan sikap individu.
2.      Membatasi pada afektif saja. Sikap merupakan “afek/penilaian” positif dan negatif terhadap sesuatu.
            Awal seseorang mengenal agama melalui proses transfer nilai-nilai dan norma-norma agama dari orang yang lebih tahu. Proses transfer ini dalam psikologi pendidikan disebut aspek kognitif (yang menyangkut pengetahuan agama). Setelah ajaran-ajaran agama dimiliki oleh seseorang, diharapkan dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk ibadah maupun pola tingkah laku keseharian yang ditekankan pada penguasaan sikap dan tingkah laku (afektif).
            Sikap keagamaan orang dewasa cenderung didasarkan atas pilihan terhadap ajaran agama yang dapat memberikan kepuasan batin atas dasar pertimbangan akal sehat. Secara garis besar, sikap keagamaan merupakan integrisi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak keagamaan dalam diri seseorang.[17] Sikap keagamaan akan dapat dilihat dalam pola kehidupan seseorang serta dipertahankan sebagai identita dan kepribadian mereka.
            Nico Syukur Dister menyebutkan bahwa sikap keagamaan merupakan orang yang tahu dan mau secara pribadi menerima dan mengetahui gambaran-gambaran keagamaan yang diwariskan kepadanya oleh masyarakat dan ia jadikan miliknya sendiri, kenyakinannya yang pribadi, maupun kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.

E.       Faktor-faktor Penghambat Kematangan Beragama
            Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan kenyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Seseorang yang matang beragama bukan hanya memegang teguh paham keagamaan yang dianutnya dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh tanggungjawab, melainkan dibarengi dengan pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam. Jika kematangan beragama telah ada pada diri seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku keagamaannya senantiasa dipertimbangkan betul-betul dan dibina atas rsaa tanggungjawab, bukan atas dasar peniruan dan sekedar ikut-ikutan saja.
            Dalam rangka menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan. Karena tingkat kematangan beragama juga merupakan perkembangan individu, hal ini memerlukan waktu sebab perkembangan kepada kematangan beragama tidak terjadi secara tiba-tiba. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan.
1.      Faktor diri sendiri
           Faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua, yaitu kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas ini berupa kemampuan ilmiah dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mampu menerima dengan rasionya, akan menghayati dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama tersebut dengan baik, penuh kenyakinan, argumentatif, walaupun apa yang ia lakukan itu berbeda dengan tradisi.Lain halnya bagi orang yang kurang mampu menerima dengan rasionya, ia akan lebih banyak tergantung pada masyarakat, meskipun dalam dirinya sering timbul tanda tanya, apakah yang dilakukan selama ini sudah benar. Dalam aktivitas keagamaan  sebenarnya mereka penuh keraguan dan kebimbingan sehingga apabila terjadi perubahan-perubahan, perubahan tersebut tidaklah melalui proses berpikir sebelumnya, tetapi lebih besifat emosional. Ada kemungkinan orang semacam ini tidka punya ketetapan hati mandiri.
           Sedangkan faktor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan maka akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan aktifitas keagamaan. Namun bagi mereka yang mempunyai pengalaman sedikit dan sempit, ia akan selalu dihadapkan pada hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap dan stabil.
2.      Faktor luar
           Faktor luar yaitu beberapa kondisi dan disituasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah menganggap tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang telah ada. Adapun fakor-faktor tersebut tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Kultur masyarakat yang sudah dikuasai tradisi tertentu dan berjalan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, kadang-kadang terasa oleh sebagian orang sebagai suatu belenggu yang tidak pernah selesai.
           Seseorang yang sejak kecil telah dicekam tradisi yang kurang dimengerti oleh orang itu sendiri, maka hal itu akan mempengaruhi terhadap perkembangan rasa keagamaannya pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu pendidikan yang diterima seseorang dari keluarga yang menghasilkan kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam hidup beragama seseorang, biasanya akan sulit sekali untuk diadakan perubahan kearah yang lebih sempurna. Namun jika pendidikan yang diterima seseorang dari jenjang lembaga berikutnya tidak terlalu banyak mengarhkan ke arah yang lebih baik dan sempurna, hal itu akan menjadi hambatan pada masa berikutnya.






1.      Apakh kegamangn muncul
2.      Pakah keagaaman anda secerah rasa keinginan tahu agama anak-anak
3.      Apakh anda melihat kelemahan
4.      Apakh Anda melihat agama Semata-mata ketundakan pada Tuhan? Atau karena keuntungan pribadi?
5.      Apakah agama anda beramkna dalam kehidaupan sehinga menjadi sumber motivasi?
6.      Apakah agama anda
7.      Memeprkuat sosial anda?
8.      Menampkkn pada kerndahan hati
9.      Apakah agama anda dapat meningktkn Keinmanan
10.  Apakah agama anda Menunjukkan hasil ijtihad, atau sekedar mengulang2?
















Daftar Pustaka
Azhari. Akyas, Psikologi Umum & Perkembangan, Jakarta: Teraju, 2004.

Chaplin. J.P, Kamus Lengkap Psikologi,Jakarta: Rajawali Pers, 2006.

Clark. Walter Houston, The Psychology of Religion, New York: Macmillan, 1962.

Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama,Jakarta: Kalam Mulia, tp.

Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Mujib. Abdul, Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.

Ramayulis, Psikologi Agama,Jakarta: Kalam Mulia, 2002.

________, Psikologi Agama edisi revisi, Jakarta: Kalam Mulia, 2011.

Schultz. Duane, Psikologi Pertumbuhan, Model-Model Kepribadian Sehat,Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi,Jakarta: Rineka Cipta, 1995.

Sururin, Ilmu Jiwa Agama,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Citamedia Press, 2006.




[1] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 117.
[2] J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 291.
[3] Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hlm. 115.
[4] Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Citamedia Press, 2006), hlm. 88.
[5] Walter Houston Clark, The Psychology of Religion...., hlm. 244-247.
[6] Duane Schultz, Psikologi Pertumbuhan, Model-Model Kepribadian Sehat, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 38.
[7] Walter Houston Clark, The Psychology of Religion..., hlm. 248-251.
[8] Walter Houston Clark, The Psychology of Religion..., hlm. 251-252
[9] Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 95.
[10] Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 106.
[11] Kebiasaan-kebiasaan, sikap, nilai kenyakinan, kondisi, emosi, statemen, motif-motif dan sebagainya.
[12] Akyas Azhari, Psikologi Umum & Perkembangan, (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 165.
[13] Ramyulis, Psikologi Agama edisi revisi, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm. 124.
[14] Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm 53.
[15] J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi....., hlm. 43.
[16] Jalaluddin, Psikologi Agama....hlm. 259.
[17]Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kalam Mulia,   ), hlm. 131-132.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar