KEMATANGAN BERAGAMA
Disusun Untuk Memenuhi TugasMata Kuliah:
PSIKOLOGI PEMBELAJARAN
Dosen Pengampu: DR. SEKAR AYU ARYANI, M.A
Disusun oleh:
ABDUL GANI
JAMORA NASUTION
MIZANTO
WIJAYANTI WULAN SEPTI
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
KEMATANGAN
BERAGAMA
A.
Pendahuluan
Penjelasan mengenai
kematangan beragama semata-mata ingin memberikan gambaran secara eksplisit
tentang berbagai elemen penting yang melandasi kematangan beragama seseorang,
yang merupakan pengalaman puncak (peak experience) yang sangat tinggi
dalam proses pencarian jati diri dari suatu agama. Kematangan beragama telah
mengidentifikasi bahwa seseorang memiliki landasan teologis yang kuat disertai
dengan pengaplikasian nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran sebuah agama.
Dengan kata lain, kematangan beragama merupakan nilai-nilai spiritual yang
mencapai kedewasaan dalam mengimplementasikan substansi agama secara holistik,
bukan parsial.
Memahami gambaran sekilas tentang kematangan beragama seseorang,
pemakalah mengajak berpikir sejenak bahwa kematangan seseorang dalam memahami
kandungan agama tidak bisa diperoleh dalam waktu yang singkat, akan tetapi
melalui proses panjang yang sangat melelahkan dan membutuhkan kesabaran dalam
mencapainya.sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam
diri seseorang yang menyangkut tata cara berpikir, bersikap, berkreasi dan
bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan
itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.
Tulisan singkat ini, pemakalah akan menjelaskan sebuah pengantar tentang
yang terkait dengan kematangan beragama (mature religion) dengan
pembahasan: pengertian kematangan beragama, kriteria kematangan beragama menurut psikolog, hubungan kematangan dengan kepribadian, faktor-faktor penghambat kematangan beragama.Penulis menyadari, paper ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karenanya, penulis mengharapkan kritik-kontributif dari saudara-saudari
pembaca, khusunya dari dosen pengampu mata kuliah untuk penyempurnaan tulisan
ini.
B.
Pengertian
Kematangan Beragama
Pencapaian tingkat stabilitas
tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (maturity).[1]
Sedangkan di dalam Kamus Lengkap Psikologi, kematangan (maturity)
diartikan keadaan telah mencapai satu bentuk kematangan atau kedewasaan secara
psikologis atau perkembangan penuh dari intelegensi dan proses-proses
emosional.[2]
Kematangan menurut Slameto, yaitu suatu keadaan yang menimbulkan perubahan
tingkah laku sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan dan ini
berhubungan dengan fungsi-fungsi tubuh/jiwa sehingga terjadi differensiasi.[3]
Dari pengertian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa kematangan beragama merupakan kemampuan seseorang untuk
memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya
dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut
kenyakinannya agama tersebutlah yang terbaik, maka ia berusaha menjadi penganut
yang baik. Kenyakinan itu ditampilkan dalam sikap dan tingkah laku keagamaan
yang mencerminkan ketaatan terhadap agama.
C.
Kriteria
Kematangan Beragama Menurut Psikolog
Dalam memahami kematangan beragama,
tidak boleh hanya melihat dalam satu perspektif saja. Namun bagaimana seseorang
bisa mengkomparasikan kematangan beragama dalam pemahaman yang lebih universal,
sehingga memberikan cakupan pengetahuan yang komprehensif dan holistik. Hal ini
bertujuan, agar pemahaman yang didapat tidak bersifat parsial. Dalam konteks
ini, ada dua pandangan yang sangat relevan dengan pemahaman kematangan
beragama, diantaranya:
Pertama, dari sudut pandang individu
dapat dipahami sebagai esensi yang tinggi dari perkembangan kedewasaan
beragama, walaupun hal itu dalam aspek individu kurang berarti dan berbeda dari
yang lain. Dengan kata lain, sudut pandang yang pertama adalah sangat
signifikan bagi kematangan beragama. Kedua, dari sudut pandang universal dimana
seseorang dapat berpikir bahwa konsep ideal itu menunjukkan bahwa perkembangan
keagamaan dapat diukur dan dikomparasikan dengan pandangan yang lain.
Diskusi
tentang kematangan beragama pada gilirannya akan mengantarkan pada satu
pernyataan bahwa agama adalah yang terbaik, paling efektif dalam menopang
kematangan seseorang di berbagai sektor kehidupan. Maka tak berlebihan kalau
pemahaman kematangan beragama selalu terkait dengan spirit keagamaan seseorang
dalam mencapai pengalaman dan kesadaran beragama. Untuk lebih jelas memahami
kematangan beragama, berikut kriteria kematangan beragama menurut para
psikolog:
1.
Kematangan
Beragama Menurut Allport
Dalam pemikiran psikologi, Allport
adalah salah seorang yang memiliki pertimbangan cukup serius terhadap konsep
kematangan beragama. Konsep kematangan beragama menurut Allport adalah sebagai
berikut:
a.
Kematangan
beragama yang pertama adalah kemampuan melakukan diferensiasi (kemampuan untuk
dapat membedakan antara hak dan kewajiban)[4]
atau kritik terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki
rasa ini mempunyai kemampuan untuk memahami dirinya sendiri.
b.
Selanjutnya,
Allport menemukan bahwa kematangan beragama terkait dengan sebuah kekuatan
motivasi dari diri sendiri. Konsep ini dikembangkan melalui “functional
autonomy” sebagai motivasi karakter.
c.
Allport
berpikir bahwa kematangan beragama adalah konsistensi dari konsekuensi moral.
Dalam konteks ini, perkembangan logika dipengaruhi oleh motivasi agama yang memiliki
kekuatan terhadap perilaku seseorang.
d.
Yang
berhubungan dengan konsistensi kematangan beragama adalah comprehensiveness sebagai
filosofi kehidupan. Dalam konteks ini, Allport hendak mengatakan bahwa poin
penting dari kenyakinan yang komprehensif salah satunya adalah mengedepankan
keberagaman yang luas, universal dan sikap toleran dalam artian mampu menerima
perbedaan.
e.
Jika segala
sendi kehidupan telah komprehensif maka salah satu indikasi kematangan beragama
dalam pandangan Allport adalah bersifat integral. Dalam artian orang yang
memiliki kematangan beragama pasti dalam hidupnya akan keharmonisan dan
kedamaian sesuai dengan tujuan awalnya untuk dekat dengan Tuhan.
f.
Terkahir,
Allport mengatakan bahwa kriteria kematangan beragama sangat ditentukan oleh
sikap heuristik (terus belajar mencari kebnenran yang hakiki, baik mencari hadis, dalil, ayat yang
kuat), yang terdapat dalam pribadi manusia masing-masing. Setiap individu akan
menyadari keterbatasannya dalam beragama, serta selalu berusaha meningkatkan
pemahaman dan penghayatannya dalam beragama.[5]
Mereka mengetahui diri mereka dan menerima keterbatasan-keterbatasan mereka dan
tidak terpukul oleh keterbatasan-keterbatasan itu. Singkatnya orang yang matang
mengetahui diri mereka siapa dan karena itu mereka aman dalam hubungan mereka
dengan diri mereka dan dunia sekitar.[6]
2.
Kematangan
Beragama Menurut William James
Konsep kematangan beragama yang
digagas William James, sebenarnya tidak berbeda dengan para psikolog lain yang
juga mempunyai sikap concern terhadap aspek penting dalam psikologi
agama. Kematangan beragama dalam pandangan James, lebih menitikberatkan pada
pengalaman keagamaan yang telah direngkuh seseorang dalam rangka mencari jati
diri dan makna hidup yang sebenarnya.
Dalam konteks ini, James membagi
kriteria kematangan beragama dalam empat aspek yang merupakan kondisi terdalam
jiwa manusia.
a.
Sensabilitas
akan eksistensi kekuasaan Tuhan. Kekuasaan ini seringkali diidentifikasi
sebagai manifestasi Tuhan, tetapi tidak jarang juga berkaitan dengan hal-hal
yang mistis yang tidak bisa dipahami manusia.
b.
Kesinambungan
dengan esensi Tuhan dan pasrah diri. Kesinambungan dipahami telah terjadi
keselarasan yang pada gilirannya dapat mengontrol ego manusia, sehingga
menciptakan keramahan dan persahabatan antarsesama.
c.
Perubahan
emosi yang terdalam. Dalam konteks ini, kematangan dalam konsep James dapat
memberikan pengaruh signifikan terhadap stabilitas dan konsistensi emosi
seseorang sehingga perubahan emosi tersebut dapat terkontrol dengan sempurna
dan tanpa mengedepankan ego yang berlebihan.
d.
Perasaan
bahagia, kasih sayang, dan keharmonisan akan tumbuh berkembang, jika seseorang
sudah matang dalam melaksanakan agama. Tak heran, kalau kematangan beragama
seringkali dipahami sebagai bagian dari kedamaian hati yang terdalam sehingga
bisa menciptakan keselarasan dalam hidup.[7]
3.
Kematangan
Beragama Menurut Wiemans dan Fromm
Diantara para psikolog, Wiemans dan
Fromm adalah psikolog yang memiliki kontribusi signifikan dalam perkembangan
kematangan beragama manusia. Dalam bukunya yang berjudul Normative
Psychology of Religion, Wiemans mendiskripsikan apa yang disebut “norma”
atau standar untuk mengukur perkembangan agama. Norma di sini dimaksudkan
aturan keunggulan ideal yang membantu bagaimana perkembangan agama seseorang
mendekati kesempurnaan.
Dalam konteks inilah, Wieman membagi
norma atau standar kematangan beragama sesuai dengan tingkatannya
masing-masing, (a) tujuan hidup layak ditinjau dari segi kemanusiaan, (b)
loyalitas yang sempurna, (c) efisiensi dalam mencapai tujuan, (d) sensifitas
dalam memandang nilai, (e) loyalitas yang terus tumbuh, (f) loyalitas yang
seacra sosial efektif. Sedangkan Fromm memaparkan kematangan beragama dapat
ditinjau dari dua aspek penting yang sangat mendukung kematangan seseorang
dalam mencapai makna hidup yang sebenarnya. Fromm membandingkannya dalam dua
konteks:
a.
Keagamaan
otoriter, yang dipahami sebagai sebuah ajaran yang datang dari luar dan
bersifat otoriter atau mengekang terhadap pribadi seseorang.
Agama datang
bukan dari lubuk hati. Ex. Shalat lima waktu komplen.
b.
Keagamaan
humanis. Agama matang adalah agama humanis. Konsep ini dipahami sebagai bentuk
kerinduan akan nilai agama dalam pribadinya sehingga bersifat humanis.[8]
Ex. Agama sesuai dengan panggilan jiwanya. Shalat sesuai perintah/kewajiban.
Clark mencoba
menemukan benang merah, ada 4:
1)
Kegamaan yang
matang ditandai oleh Kapasitas untuk tumbuh (heusristik,
2)
Kerendahan
hati
3)
Senantiasa
melakukan kehendak tuhan
4)
Agama merupakn
konsen utama
4.
Kematangan
Beragama Menurut William Starbuck
Menurut
William Starbuck, ada dua faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang,
diantaranya:
a.
Faktor intern
1)
Temperamen
Tingkah laku
yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap
beragama seseorang. Seseorang yangmelankolis, misalnya akan berbeda dengan
orang yangberkepribadian dysplastis dalam sikap dan pandangannya terhadap
agama. Hal demikian juga akan mempengaruhi seseorang dalam kematangan beragama.
2)
Gangguan jiwa
Orang yang
menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.
Tindak tanduk keagamaan dan pengakuan keagamaan seseorang yang ditampilkan pada
gangguan jiwa yang mereka rasakan.
3)
Konflik dan
keraguan
Konflik dan
keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama, seperti taat,
fanatik, agnotis, maupun ateis.
4)
Jauh dari
Tuhan
Orang yang
hidupnya jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan
hidup terutama saat menghadapi musibah
Adapun
ciri-ciri mereka yang mengalami kelainan kejiwaan dalam beragama sebagai
berikut: pesimis, intorvet, menyanyagi paham ortodoks, dan mengalami proses
keagamaan secara graduasi.[9]
b.
Faktor ekstern
1)
Musibah
Seringkali
musibah yang sangat serius dapat mengguncangkan seseorang dan kegoncangan
tersebut seringkali memunculkan kesadaran, khususnya kesadaran keberagamaannya.
Mereka merasa mendapatkan peringatan dari Tuhan.
2)
Kejahatan
Mereka yang
hidup dalam lembah hitam pada umumnya mengalami kegoncangan batin dan rasa
berdosa. Perasaan tersebut mereka tutupi dengan perbuatan yang bersifat
kompensatif, seperti melupakan sejenak dengan foya-foya dan sebagainya. Tidak
jarang pula melakukan pelampiasan dengan tindak brutal, pemarah, dan
sebagainya. Adapun ciri-ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama
antara lain: optimisme dan gembira, ekstrovert dan tidak mendalam, menyenangi
ajaran ketauhidan yang liberal.
D.
Hubungan
Kematangan dengan Kepribadian
Kematangan merupakan proses
pertumbuhan dan perkembangan seseorang yang dapat dilihat dari perubahan
tingkah laku. Kematangan dapat membedakan mana yang termasuk perbuatan baik dan
buruk, memberikan contoh yang baik kepada sesama yang berasal dari pengalaman-pengalaman
masa lalu sehingga seseorang mampu mengendalikan perilaku dan tidak melakukan
hal-hal yang merugikan atau bertentangan dengan pandangan masyarakat.
Kematangan tidak bisa terlepas dari
kepribadian, karena kepribadianlah yang menjadi acuan pembentuk kematangan.
Untuk itu perlu dicermati hubungan antara kematangan dengan kepribadian.
Kepribadian berasal dari bahasa Yunani per dan sonare, yang
berarti topeng, tetapi juga berasal dari kata personare yang berarti
pemain sandiwara, yaitu pemain yang memakai topeng tersebut.[10]
Allport mengatakan bahwa kepribadian
adalah organisasi dinamis dalam individu yang terdiri atas berbagai sistem psiko-fisik[11]yang
bekerja sebagai penentu tunggal dalam menyesuaikan diri pada lingkungannya.
Istilah dynamic dalam definisi tersebut menunjukkan bahwa pada
hakikatnya kepibadian itu dapat berubah baik dalam hal kualitas maupun tingkah
lakunya. Sedangkan kata “organisasi” merujuk pada pengertian bahwa kepribadian
itu terbentuk sebagai sebuah struktur yang kokoh.[12]
Jadi dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah totalitas sifat manusia baik
fisik maupun psikis yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya
yang terbentuk karena hasil interaksi dengan lingkungannya.[13]
1.
Struktur dan
Dinamika Kepribadian
Struktur
kepribadian yang dimaksud disini adalah aspek-aspek atau elemen-elemen yang
terdapat pada diri manusia yang karenanya kepribadian terbentuk.[14]
Berbicara tentang struktur kepribadian tidak terlepas dari
tokoh yang telah merumuskan teori dan struktur kepribadian, yaitu Sigmund
Freud. Ia membagi struktur kepribadian ke dalam tiga komponen, diantaranya: id,
ego dan super-ego. Jika ketiga
komponen itu bekerja dalam suatu susunan yang harmonis maka akan tercipta jiwa
yang sehat namun apabila ketiga sistem tersebut bekerja secara bertentangan
satu sama lainnya maka orang tersebut dinamai sebagai orang yang tak dapat
menyesuaikan diri. Dengan kata lain efisiensinya menjadi berkurang.
2.
Kepribadian
dan Sikap Keagamaan
Sikap (attitude) yaitu satu
predisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus
menerus untuk bertingkahlaku atau mereaksi dengan satu cara tertentu terhadap
pribadi lain, objek, lembaga, atau persoalan tertentu.[15]
Sikap dipandang sebagai reaksi-reaksi afektif terhadap objek tertentu
berdasarkan hasil penalaran, pengalaman dan penghayatan individu. Dengan
demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan
sebagai pengaruh bawaan (faktor intern) seseorang serta tergantung objek
tertentu.[16]
Menurut
Syaifuddin Azwar terdapat dua pendekatan dalam membahas sikap:
1.
Memandang sikap
sebagai reaksi afektif, perilaku dan kognitif terhadap suatu subjek, ketiga
komponen tersebut secara bersama mengorganisasikan sikap individu.
2.
Membatasi pada
afektif saja. Sikap merupakan “afek/penilaian”
positif dan negatif terhadap sesuatu.
Awal seseorang mengenal agama
melalui proses transfer nilai-nilai dan norma-norma agama dari orang yang lebih
tahu. Proses transfer ini dalam psikologi pendidikan disebut aspek kognitif
(yang menyangkut pengetahuan agama). Setelah ajaran-ajaran agama dimiliki oleh
seseorang, diharapkan dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dalam
bentuk ibadah maupun pola tingkah laku keseharian yang ditekankan pada
penguasaan sikap dan tingkah laku (afektif).
Sikap keagamaan orang dewasa
cenderung didasarkan atas pilihan terhadap ajaran agama yang dapat memberikan
kepuasan batin atas dasar pertimbangan akal sehat. Secara garis besar, sikap
keagamaan merupakan integrisi secara kompleks antara pengetahuan agama,
perasaan agama serta tindak keagamaan dalam diri seseorang.[17]
Sikap keagamaan akan dapat dilihat dalam pola kehidupan seseorang serta
dipertahankan sebagai identita dan kepribadian mereka.
Nico Syukur Dister menyebutkan bahwa
sikap keagamaan merupakan orang yang tahu dan mau secara pribadi menerima dan
mengetahui gambaran-gambaran keagamaan yang diwariskan kepadanya oleh
masyarakat dan ia jadikan miliknya sendiri, kenyakinannya yang pribadi, maupun
kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.
E.
Faktor-faktor
Penghambat Kematangan Beragama
Kematangan atau kedewasaan seseorang
dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan kenyakinan yang teguh
karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam
hidupnya. Seseorang yang matang beragama bukan hanya memegang teguh paham
keagamaan yang dianutnya dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan
penuh tanggungjawab, melainkan dibarengi dengan pengetahuan keagamaan yang
cukup mendalam. Jika kematangan beragama telah ada pada diri seseorang, segala
perbuatan dan tingkah laku keagamaannya senantiasa dipertimbangkan betul-betul
dan dibina atas rsaa tanggungjawab, bukan atas dasar peniruan dan sekedar
ikut-ikutan saja.
Dalam rangka menuju kematangan
beragama terdapat beberapa hambatan. Karena tingkat kematangan beragama juga
merupakan perkembangan individu, hal ini memerlukan waktu sebab perkembangan
kepada kematangan beragama tidak terjadi secara tiba-tiba. Pada dasarnya
terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan.
1.
Faktor diri
sendiri
Faktor dari dalam diri sendiri
terbagi menjadi dua, yaitu kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas ini berupa
kemampuan ilmiah dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara
seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mampu
menerima dengan rasionya, akan menghayati dan kemudian mengamalkan
ajaran-ajaran agama tersebut dengan baik, penuh kenyakinan, argumentatif,
walaupun apa yang ia lakukan itu berbeda dengan tradisi.Lain halnya bagi orang
yang kurang mampu menerima dengan rasionya, ia akan lebih banyak tergantung
pada masyarakat, meskipun dalam dirinya sering timbul tanda tanya, apakah yang
dilakukan selama ini sudah benar. Dalam aktivitas keagamaan sebenarnya mereka penuh keraguan dan
kebimbingan sehingga apabila terjadi perubahan-perubahan, perubahan tersebut
tidaklah melalui proses berpikir sebelumnya, tetapi lebih besifat emosional.
Ada kemungkinan orang semacam ini tidka punya ketetapan hati mandiri.
Sedangkan faktor pengalaman,
semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan maka akan semakin
mantap dan stabil dalam mengerjakan aktifitas keagamaan. Namun bagi mereka yang
mempunyai pengalaman sedikit dan sempit, ia akan selalu dihadapkan pada
hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap dan
stabil.
2.
Faktor luar
Faktor
luar yaitu beberapa kondisi dan disituasi lingkungan yang tidak banyak
memberikan kesempatan untuk berkembang, malah menganggap tidak perlu adanya
perkembangan dari apa yang telah ada. Adapun fakor-faktor tersebut tradisi
agama atau pendidikan yang diterima. Kultur masyarakat yang sudah dikuasai
tradisi tertentu dan berjalan secara turun temurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya, kadang-kadang terasa oleh sebagian orang sebagai suatu
belenggu yang tidak pernah selesai.
Seseorang
yang sejak kecil telah dicekam tradisi yang kurang dimengerti oleh orang itu
sendiri, maka hal itu akan mempengaruhi terhadap perkembangan rasa keagamaannya
pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu pendidikan yang diterima seseorang
dari keluarga yang menghasilkan kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam hidup
beragama seseorang, biasanya akan sulit sekali untuk diadakan perubahan kearah
yang lebih sempurna. Namun jika pendidikan yang diterima seseorang dari jenjang
lembaga berikutnya tidak terlalu banyak mengarhkan ke arah yang lebih baik dan
sempurna, hal itu akan menjadi hambatan pada masa berikutnya.
1.
Apakh
kegamangn muncul
2.
Pakah
keagaaman anda secerah rasa keinginan tahu agama anak-anak
3.
Apakh anda
melihat kelemahan
4.
Apakh Anda
melihat agama Semata-mata ketundakan pada Tuhan? Atau karena keuntungan
pribadi?
5.
Apakah agama
anda beramkna dalam kehidaupan sehinga menjadi sumber motivasi?
6.
Apakah agama
anda
7.
Memeprkuat
sosial anda?
8.
Menampkkn pada
kerndahan hati
9.
Apakah agama
anda dapat meningktkn Keinmanan
10. Apakah agama anda Menunjukkan hasil ijtihad,
atau sekedar mengulang2?
Daftar Pustaka
Azhari. Akyas,
Psikologi Umum & Perkembangan, Jakarta: Teraju, 2004.
Chaplin. J.P, Kamus
Lengkap Psikologi,Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
Clark. Walter
Houston, The Psychology of Religion, New York:
Macmillan, 1962.
Jalaluddin dan
Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama,Jakarta: Kalam Mulia, tp.
Jalaluddin, Psikologi
Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Mujib. Abdul, Kepribadian
dalam Psikologi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
Ramayulis, Psikologi
Agama,Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
________, Psikologi
Agama edisi revisi, Jakarta: Kalam Mulia, 2011.
Schultz.
Duane, Psikologi Pertumbuhan, Model-Model Kepribadian Sehat,Yogyakarta:
Kanisius, 1991.
Slameto, Belajar
dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi,Jakarta: Rineka Cipta, 1995.
Sururin, Ilmu
Jiwa Agama,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Tim Prima
Pena, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:
Citamedia Press, 2006.
[1] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), hlm. 117.
[2] J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 291.
[3] Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hlm. 115.
[4] Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:
Citamedia Press, 2006), hlm. 88.
[5] Walter Houston Clark, The Psychology of
Religion...., hlm. 244-247.
[6] Duane Schultz, Psikologi Pertumbuhan,
Model-Model Kepribadian Sehat, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 38.
[7] Walter Houston Clark, The Psychology of
Religion..., hlm. 248-251.
[8] Walter Houston Clark, The Psychology of
Religion..., hlm. 251-252
[9] Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 95.
[10] Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2002), hlm. 106.
[11] Kebiasaan-kebiasaan, sikap, nilai kenyakinan,
kondisi, emosi, statemen, motif-motif dan sebagainya.
[12] Akyas Azhari, Psikologi Umum &
Perkembangan, (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 165.
[13] Ramyulis, Psikologi Agama edisi revisi,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm. 124.
[14] Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi
Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm 53.
[15] J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi.....,
hlm. 43.
[16] Jalaluddin, Psikologi Agama....hlm.
259.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar