Senin, 11 November 2013

Neurosains Pembelajaran



NEUROSAINS PEMBELAJARAN
Makalah ini dibuat Guna Memenuhi Tugas Akhir
Mata Kuliah: Psikologi Pembelajaran Anak MI
Dosen Pengampu: Dr. Casmini, M.Si

logo-uin-suka-baru-grayscale.jpg

Disusun Oleh:
WIJAYANTI WULAN SEPTI
1220420021



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MI
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Otak mengendalikan semua fungsi tubuh. Otak merupakan pusat dari keseluruhan tubuh. Jika otak sehat, maka akan mendorong kesehatan tubuh serta menunjang kesehatan mental. Sebaliknya, apabila otak terganggu, maka kesehatan tubuh dan mental bisa ikut terganggu. Seandainya jantung atau paru-paru berhenti bekerja selama beberapa menit, Anda masih bisa bertahan hidup. Namun jika otak berhenti bekerja selama satu detik saja, maka tubuh berarti mati. Itulah mengapa otak disebut sebagai organ yang paling penting dari seluruh organ di tubuh manusia. Selain paling penting, otak juga merupakan organ yang paling rumit. Membahas tentang neurosain secara detail bisa memakan waktu berhari-hari. Oleh karena itu disini kita akan membahas otak secara garis besarnya saja sekedar membuat kita paham bagian-bagian dan penerapannya dalam pembelajaran.

B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah terkait materi neurosain adalah sebagai berikut:
1.        Apa itu neurosain?
2.        Bagaimana sistem saraf itu?
3.        Bagaimana struktur otak?
4.        Bagaimana keterkaitan emosi dengan otak?
5.        Bagaimana aplikasi neorosain dalam pembelajaran?
6.        Bagaimana hasil dari penelitian-penelitian yang berkaitan dengan neurosains pembelajaran?





BAB II
PEMBAHASAN
A.      Neurosains pembelajaran
Neurosains adalah ilmu yang khusus mempelajari neuron (sel saraf).[1] Sedangkan neurosains pembelajaran adalah ilmu pengetahuan tentang hubungan sistem saraf dengan pembelajaran dan perilaku.[2] Sel-sel saraf ini yang menyusun sistem saraf, baik susunan saraf pusat (otak dan saraf tulang belakang) maupun saraf tepi (31 pasang saraf spinal dan 12 pasang saraf kepala). Umumnya para neurosaintis memfokuskan pada sel saraf yang ada di otak. Sel saraf bukan merupakan unit terkecil, karena yang disebut unit terkecil adalah sinapsis (titik pertemuan dua sel saraf yang memindahkan dan meneruskan informasi). Bahkan, ini berlangsung pada tingkat molekuler seperti gen-gen. Semua yang berlangsung di tingkat sinapsis menjadi dasar dari sensasi, persepsi, proses belajar dan memori serta kesadaran. Otak merupakan komponen fisik dan fungsional yang mendasari proses belajar. Pengetahuan tentang otak tidak saja penting dalam proses pembelajaran (learning), tetapi keseluruhan dalam proses pendidikan.

B.       Neuron dan Sistem Saraf
       Sel adalah bagian terkecil dari suatu organisme.[3] Susunan saraf terdiri dari sel-sel saraf. Di dalam sel saraf terdiri dari: (a)  sel saraf, dan (b) serabut-serabut saraf. Sel saraf terdiri atas cytoplasma dan nucleus atau inti saraf. Cytoplasma atau pada umumnya disebut protoplasma mempunyai lanjutan pada kedua ujungnya. Fungsi dari lanjutan – lanjutan (ujung-ujung saraf) itu ada yang membawa rangsangan ke sel saraf dan ini disebut sellulifetal. Ada pula ujung-ujung saraf yang membawa rangsang ke luar dari sel disebut sellulifugal. Lanjutan-lanjutan sitoplasma dari suatu sel disebut serabut-serabut saraf. Serabut-serabut saraf yang berfungsi sellulifetal disebut dendrit. Dendrit berasal dari bahasa Yunani dendron yang berarti “pohon”.[4] Dendrit itu dan seluruh selaput yang menutupi sel tubuh menerima pesan dari neuron yang berdekatan. Pesan ini secara berurutan dikirim ke neuron lain (atau ke otot dan kelenjar) melalui sebuah penyambung sel yang menyerupai tabung panjang dan tipis yang disebut akson. Jika kason terkena rangsangan pada saatnya, akson itu akan mengeluarkan implus ke salah satu arah (yang menuju ke sel tubuh atau menjauhi sel tubuh). Tetapi impuls, saraf itu dapat menyeberangi penghubung antarneuron, yang disebut sinapsis, hanya dalam satu arah, dari akson ke arah sel tubuh atau dendrit. Sedangkan serabut-serabut saraf yang berfungsi sellulifugal disebut neurit. Gambar berikut merupakan gambar sebuah sel saraf dengan bagian-bagiannya.
http://adriautami.files.wordpress.com/2010/04/image004.jpg?w=426&h=244
Terdapat tiga jenis neuron, neuron sensorik (disebut juga neuron aferen) mengirimkan impuls yang diterima reseptor ke saraf pusat. Reseptor itu mengirimkan sel khusus dalam organ penginderaan, otot, kulit serta sendi yang mendeteksi adanya perubahan secara fisik atau kimiawi dan menyimpulkan kejadian tersebut ke dalam impuls yang menjalar sepanjang neuron sensorik. Neuron motorik (disebut juga neuron eferen) membawa isyarat yang keluar dari otak atau saraf sumsum tulang belakang ke organ efektor terutama otot dan kelejar. Interneuron, disebut juga neuron-neuron asosiatif menerima isyarat dari neuron sensorik dan mengirimkan impuls interneuron lain ke neuron motorik. Interneuron hanya terdapat dalam otak dan saraf sumsum belakang.
Urat saraf merupakan kumpulan akson yang direntangkan yang terdapat dalam beratus-ratus atau beribu-ribu neuron aferen dan eferen. Diantara neuron terdapat sejumlah besar sel glial (berasal dari bahasa Yunani, glia yang berarti “perekat”) yang saling berjalinan secara erat. Sel glial membantu neuron melekat pada tempatnya dan memberinya zat makanan.[5] Jumlah sel glial ini lebih dari lima hingga sepuluh kali lipat dari jumlah sel saraf otak.[6]

C.      Struktur otak
Otak dibagi menjadi 4
1.        Cerebrum (Otak Besar)
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan bagian otak yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ juga ditentukan oleh kualitas bagian ini. Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut Lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulcus. Keempat Lobus tersebut masing-masing adalah: Lobus Frontal, Lobus Parietal, Lobus Occipital dan Lobus Temporal.
a.         Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
b.         Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
c.          Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
d.         Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata.
Apabila diuraikan lebih detail, setiap lobus masih bisa dibagi menjadi beberapa area yang punya fungsi masing-masing, seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

Selain dibagi menjadi 4 lobus, cerebrum (otak besar) juga bisa dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan otak kanan dan belahan otak kiri. Kedua belahan itu terhubung oleh kabel-kabel saraf di bagian bawahnya. Secara umum, belahan otak kanan mengontrol sisi kiri tubuh, dan belahan otak kiri mengontrol sisi kanan tubuh. Otak kanan terlibat dalam kreativitas dan kemampuan artistik. Sedangkan otak kiri untuk logika dan berpikir rasional.
2.        Cerebellum (Otak Kecil)
Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Cerebellum merupakan kunci dalam mendapatkan keterampilan motorik[7]. Otak Kecil juga menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya. Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu mengancingkan baju.
3.        Brainstem (Batang Otak)
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya. Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya. Oleh karena itu, batang otak sering juga disebut dengan otak reptil. Otak reptil mengatur “perasaan teritorial” sebagai insting primitif.
Batang Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a.         Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan Otak Kecil. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
b.         Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol funsi otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
c.          Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga atau tertidur.
4.        Limbic System (Sistem Limbik)





Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, merupakan struktur sirkuit di tengah yang memutari thalamus.[8] Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak ini sama dimiliki juga oleh hewan mamalia sehingga sering disebut dengan otak mamalia. Komponen limbik antara lain hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks limbik. Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang. Bagian terpenting dari Limbik Sistem adalah Hipotalamus yang salah satu fungsinya adalah bagian memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan mana yang tidak. Sistem limbik menyimpan banyak informasi yang tak tersentuh oleh indera. Dialah yang lazim disebut sebagai otak emosi atau tempat bersemayamnya rasa cinta dan kejujuran. Carl Gustav Jung  menyebutnya sebagai "Alam Bawah Sadar" atau ketidaksadaran kolektif, yang diwujudkan dalam perilaku baik seperti menolong orang dan perilaku tulus lainnya. LeDoux mengistilahkan sistem limbik ini sebagai tempat duduk bagi semua nafsu manusia, tempat bermuaranya cinta, penghargaan dan kejujuran.

D.      Keterkaitan Emosi dengan Otak
1.        Teori Emosi
Cannon (1927) menyatakan bahwa peranan utama emosi berada di talamus, yang merupakan bagian inti dari pusat otak.[9] Canon berpendapat bahwa talamus memberikan respon terhadap stimulus yang membangkitkan emosi dengan mengirim impuls secara serempak ke korteks cerebral dan ke bagian tubuh yang lain. Perasaan emosional merupakan akibat keterbangkitan korteks dan sistem saraf simpatik. Menurut teori ini yang dikembangkan oleh Bard dan dikenal sebagai teori Cannon Bard, perubahan badani dan pengalaman emosi terjadi pada saat yang sama. 
Penelitian berikutnya memperjelas kenyataan bahwa hipotalamus dan sebagian tertentu dari sistem limbik, bukan talamus, merupakan pusat otak yang paling banyak terlibat langsung dalam integrasi respons emosional. Impuls dari kawasan ini dipancarkan ke inti sel dalam batang otak yang mengendalikan fungsi sistem saraf otonom. Sistem saraf otonom bekerja secara langsung pada otot dan organ internal untuk menginisiasi beberapa perubahan badani yang mencirikan emosi dan bekerja secara tidak langsung dengan merangsang hormon adrenal untuk menimbulkan perubahan badani lainnya.
Emosi bukan peristiwa sesaat, tetapi pengalaman yang terjadi selama beberapa saat. Pengalaman emosional dapat ditimbulkan oleh masukan eksternal pada sistem sensoris, kita melihat atau mendengar stimulus yang membangkitkan emosi. Tetapi sistem saraf otonom menjadi aktif segera setelah itu, sehingga umpan balik dari perubahan badani menambah pengalaman emosional. Jadi, pengalaman sadar kita tentang emosi melibatkan integrasi informasi tentang keadaan fisiologis tubuh dan informasi tentang situasi yang membangkitkan emosi.
Bentuk-bentuk emosi ada tiga aspek, yaitu: 1) aspek kognisi, 2) kesigapan, 3) perasaan. Penilaian seseorang terhadap situasi yang membangkitkan emosi merupakan faktor penentu respons emosional yang penting. Schachter (1971) yakin bahwa emosi merupakan fungsi interaksi faktor kognitif dan keadaan keterbangkitan fisiologis. Teori kognitif fisiologis tentang emosi mengemukakan bahwa umpan balik ke otak dari aktivitas fisiologis menimbulkan keadaan keterbangkitan yang tidak berbeda, tetapi emosi yang dirasakan ditentukan oleh “label” yang diberikan orang pada keadaan keterbangkitan itu.[10] Penentuan label merupakan proses kognitif, individu menggunakan informasi dari pengalaman masa lampau dan persepsinya tentang keadaan saat ini untuk menginterpretasi perasaannya. Interpretasi ini akan menentukan label yang  mereka gunakan untuk memberikan keadaan emosional mereka.
Kesigapan untuk melakukan tindakan bergantung pada sistem saraf autonom yang memiliki dua percabangan, sistem saraf simpatetik dan parasimpatik. Sistem saraf simpatetik mempersiapkan tubuh untuk respons yang singkat, intens dan “melawan atau melarikan diri” yang penuh semangat. Sistem saraf parasimpatetik meningkatkan pencernaan dan proses lain yang bertujuan mengonservasi energi serta menyiapkan diri untuk persiapan selanjutnya. Akan tetapi tiap situasi memerlukan pembangkitan sistem saraf simpatetik dan parasimpatetik dengan campuran yang unik.
2.        Amigdala
Amigdala adalah struktur dalam sistem saraf berbentuk seperti almonds yang terletak di dasar lobus temporalis. Amigdala merupakan bagian dari sistem limbik yang terlibat dalam pengalaman emosional dan fungsi seksual. Struktur ini berperan dalam ingatan yang bersifat emosional dan terbentuk dari sebuah nukleus atau kluster badan sel. Amigdala tumbuh dan mencapai puncak perkembangannya sebelum usia 4 tahun.[11] Karena itu pada anak-anak di bawah 4 tahun, sensasi dan rangsangan yang paling cepat ditangkap, dikonsilidasi dan disimpan adalah sensasi-sensasi yang bersifat emosional. Pengalaman-pengalaman emosional pada anak usia ini merupakan pengalaman hidup yang terpatri kuat. Pengalaman atau pelajaran pada usia ini akan berdampak lebih kuat jika diberikan dengan nuasa emosi yang tinggi, misalnya melalui bermain. Amigdala menyimpan memori tentang peristiwa emosional, menerima input dari sistem visual, auditif dan pencernaan, termasuk bagian otak yang mengenal rasa dan sentuhan. Amigdala adalah peran stimulasi, regulasi, emosi dan respon emosional terhadap informasi sensor serta mengevaluasinya dengan cepat dalam menentukan nilai emosionalnya serta mengambil keputusan terhadap kejadian tertentu. Jadi amigdala adalah struktur yang menghubungkan antara emosional dan rasio atau kesadaran emosional (emotional awareness). Sebagai contoh, apabila kita menghadapi rasa takut maka hal ini adalah suatu komponen dari kondisi emosional yang cirinya adalah kondisi tergerak (a state of being moved). Komponen emosi lainnya adalah kesadaran (awareness) yang dirasakan. “Emotional awareness” kemudian timbul untuk menentukan tindakan yang diambilnya terhadap rasa takut tersebut.
Joseph Le Doux (1996) dalam buku The Emosional Brain menulis bahwa sistem emosional utama yaitu rasa takut mencakup amigdala dan bagian frontal dari korteks singulat (cingulater cortex, yaitu struktur setengah lengkung yang melingkupi bagian tengah otak atau daerah limbik melalui jalur neuron, visual dan auditif yang mengait langsung ke struktur yang berbentuk almond tersebut).[12] Struktur ini ditemukan di setiap belahan bagian tengah otak. Amigdala mengirimkan serabut ke hipotalamus dan batang otak, tempat pernafasan, keringat, denyut jantung, pembuluh darah dan tonus otak dikendalikan.
3.        Belahan otak kiri dan kanan
Hipotesis lain mengemukakan kaitan antara dua belahan dengan kategori emosi yang berbeda. Menurut Jeffrey Gray (1970), aktivitas belahan otak kiri terutama lobus frontal dan temporalnya berkaitan dengan sistem aktivasi perilaku. Hal tersebut ditandai dengan peningkatan aktivitas (saraf) autonom dari level rendah hingga tinggi dan kecenderungan untuk mendekat (ke orang lain) yang dapat mengindikasi kesenangan atau kemarahan. Peningkatan aktivitas lobus frontal dan temporal belahan otak kanan diasosiasikan dengan sistem inhibisi perilaku yang meningkatkan perhatian dan pembangkitan, menginhibisi tindakan dan menstimulasi emosi, antara lain rasa takut dan muak.[13]
Perbedaan antarkedua belahan otak berkaitan dengan kepribadian. Secara rata-rata, individu yang memiliki aktivasi korteks frontal lebih tinggi pada belahan otak kiri cenderung lebih bahagia, mudah bergaul dan lebih suka bersenang-senang. Individu yang memiliki aktivitas korteks frontal lebih tinggi pada belahan otak kanan cenderung lebih tertutup, tidak puas dengan hidup dan lebih mudah emosi yang tidak menyenangkan.[14] 
Belahan otak kanan lebih responsif terhadap stimulus emosional daripada belahan otak kiri. Sebagai contoh, mendengar suara tawa atau tangis akan lebih mengaktivasi amigdala kanan daripada amigdala kiri. Ketika seseorang mengamati wajah, perhatian yang dicurahkan untuk mengenali ekspresi emosi akan meningkatkan aktivitas korteks temporal belahan otak kanan.

E.       Aplikasi Neorosains dalam Pembelajaran
Optimalisasi otak pada dasarnya adalah menggunakan seluruh bagian otal secara bersama-sama dengan melibatkan sebanyak mungkin indra secara serentak. Penggunaan berbagai media pembelajaran merupakan salah satu usaha membelajarkan seluruh bagian otak, baik otak kiri maupun otak kanan, rasional maupun emosional atau bahkan spiritual. Permainan warna, bentuk, tekstur dan suara sangat dianjurkan. Ciptakan suasana gembira karena akan merangsang keluarnya endorfin dari kelenjar di otak dan selanjutnya mengaktifkan asetilkolin di sinapsis.[15] Seperti diketahui sinapsis yang merupakan penghubung antar sel saraf menggunakan zat kimia terutama asetilkolin sebagai neurotransmitternya. Dengan aktifnya aseltilkolin maka memori akan tersimpan dengan lebih baik. Lebih jauh suasana gembira akan mempengaruhi cara otak dalam memproses, menyimpan dan mengambil kembali informasi. Tiga hal penting dalam belajar menurut Susan (1997) adalah: 1) bagaimana mengambil dan menyimpan informasi dengan cepat, menyeluruh dan efisien, 2) bagaimana menggunakannya untuk menyelesaikan masalah, dan 3) bagaimana menggunakannya untuk menciptakan ide. Optimalisasi dapat dilakukan dengan membuatnya dalam keadaan waspada yang relaks sebelum dimasuki informasi.
Musik yang menenangkan dan latihan pernafasan dapat menghilangkan pikiran yang mengganggu dan mengkondisikan otak agar waspada dan relaks. Musik juga dapat mengaktifkan otak kanan untuk siaga menerima infromasi dan membantu memindahkan infromasi tersebut ke dalam bank memori jangka panjang. Musik memang membantu proses transmisi pesan yang berlangsung di ujung-ujung saraf. Gelombang otak yang berada pada posisi alfa telah memungkinkan pemaduan, pengkodisian dan konsilidasi seluruh pesan yang masuk.[16]  Kondisi relaks dan waspada merupakan pintu  bawah sadar. Jika informasi dibacakan dengan dibarengi musik dan aroma menenangkan, maka akan mengambang di bawah sadar dan ditrasmisikan dengan lebih cepat serta disimpan dalam “file” yang benar.
Disamping membutuhkan kondisi waspada yang relaks, otak juga membutuhkan oksigen untuk bekerjanya. Berhentinya pasokan oksigen akan merusak sel-sel saraf di otak. Ruang kelas dengan penyediaan oksigen yang berlimpah sangat kondusif untuk belajar. Pohon-pohon dengan daun rimbun di luar kelas dapat menjadi sumber oksigen. Olahraga yang dilakukan teratur, tidak hanya akan membugarkan tubuh namun juga akan memperkaya darah dengan oksigen dan meningkatkan pasokan okseigen ke otak. Kekurangan zat besi (sayuran hijau) akan menurunkan rentang perhatian, menghambat pemahaman dan secara umum mengganggu prestasi belajar. Kurangnya kalium (buah dan sayuran) akan menurunkan rentang perhatian, menghambat pemahaman, dan secara umum mengganngu prestasi belajar. Kurangnya kalium (buah dan sayuran) akan mengurangi aliran listrik di otak sehingga akan menurunkan jumlah informasi yang dapat diterima otak. Dengan demikian makan pagi dengan mengkonsumsi banyak buah, makan siang dengan prinsip empat sehat dan makan malam dengan menambahkan susu akan mengoptimalkan otak.  Demikian juga dengan olahraga teratur dan minum banyak air putih sebagai penghilang racun akan mendukung kerja otak.
Rekayasa lingkungan belajar yang nyaman dan relaks akan memudahkan pengambilalihan tugas dari otak kiri yang rasional ke otak intituitif yang menerima asupan informasi bawah sadar. Intuisi adalah persepsi  yang berada di luar pancaindera meskipun tetap bukan hal mistik, karena tetap bersifat logis. Menyimpan informasi dengan pola asosiatif dan tidak linear merupakan langkah pertama menuju pengembangan kemampuan otak yang belum dikembangkan. Belajar melalui praktik akan melibatkan banyak indra sehingga memori akan lebih mantap. Setiap orang memiliki dominasi indra secara individual. Apabila guru dapat mendominasi indera pada masing-masing peserta didiknya maka akan dapat memberi layanan dengan tepat.
Secara umum ada 10 hukum dasar otak yang relevan dalam bidang pendidikan.[17] Hukum-hukum itu antara lain: 1) keunikan, 2) kekhususan, 3) sinergisitas, 4) hemisferik dan dominasi, 5) verba-grafis, 6) imajinasi dan fakta, 7) plastisitas sel saraf, 8) kerja serempak, 9) simbiosis rasio-emosi-spriritualitas, dan 10) otak laki-laki-otak perempuan. Otak bukan sekedar struktur (benda-organik), tetapi fungsi dan sifat. Karena itu, otak merupakan titik utama pengembangan manusia dalam bidang pendidikan. Tidak saja untuk belajar mengajar tetapi juga bagi pendidikan secara keseluruhan. 
1.        Keunikan
Otak merupakan sistem yang dinamis atau sistem yang hidup (living system). Otak tidak saja tumbuh dan berkembang tetapi otak juga terbuka terhadap intervensi dari luar. Karena dapat diintervensi dari luar, otak setiap orang itu unik. Pengalaman, pendidikan dan gaya hidup yang berbeda membuat otak menjai berbeda. Otak dapat berkembang tak terbatas tanpa memperbesar ukuran tengkorak. Otak tidak pernah istirahat, bahkan ketika tidurpun otak bekerja. Sebagai sistem yang hidup, otak harus di charge supaya bisa hidup secara dinamis. Ahli otak memperkirakan bahwa manusia rata-rata baru memakai 20-50% dari potensi otak. Potensi alam bawah sadar, intuisi dan konektivitas belum dipakai secara baik. Hal tersebut menjadikan setiap orang berbeda dalam banyak hal. Karena itu tidak ada teknik belajar yang baku dan tunggal untuk semua orang. Pendidik harus dapat mengemas teknik-teknik belajar yang memperhatikan keunikan ini.
2.        Kekhususan
Para ahli (Howard Gardner, ahli saraf dan pendidikan dari sekolah kedokteran Boston dan sekolah pendidikan Harvad) menemukan kemampuan otak berkaitan dengan kekhususan seseorang dalam memanfaatkannya. Kemampuan ini (Gardner menyebutnya Multiple Inteligence) didukung oleh perbedaan struktur otak pada setiap orang. Perbedaan ini terjadi antara lain karena manifestasi kekhususan genetik pada proses perkembangan susunan syaraf pusat. Prinsip kedua ini menunjukkan adanya keunggulan yang bersifat khas pada setiap orang. Anak yang unggul dalam bidang matematika tidaklah berarti lebih unggul dibandingkan dengan anak-anak lain yang pintar main basket, menari, atau memainkan biola. Sekolah yang baik harus memberikan ruang yang luas bagi pengembangan semua kecerdasan ini.
3.        Sinergisitas
Otak dan seluruh bagian tubuh, terutama organ gerak dan organ indera memiliki hubungan sinergis. Bagian motorik dan sensorik di otak memiliki hubungan saraf melalui pelepasan zat-zat kimia bernama neurotransmitter dengan indera dan organ gerak. Rangsangan pada beberapa organ secara bersamaan akan memberikan efek lebih baik dibandingkan hanya 1 organ. Otak lebih cepat menangkap informasi yang melibatkan dua kelompok organ ini sekaligus.[18] Keadaan otak dalam kondisi alfa (gelombang otak 8-14 kali per menit) merupakan keadaan yang paling optimal untuk belajar. Keadaan ini akan merilekskan otot-otot, menstabilkan denyut jantung. Belajar di bawah tekanan, pemaksaan dan dalam keadaan lelah akan merangsang otak memasuki kondisi beta. Dalam kondisi beta ini proses penerimaan dan pengelolaan informasi menjadi tidak efektif. Pembelajaran dan pendidikan harus dapat mempertahankan sinergisitas otak- tubuh.
4.        Hemisferik dan dominasi
Dalam prinsip ini setiap orang memiliki gaya dan cara yang unik dalam belajar, pemerolehan informasi dan strategi pemecahan masalah. Tidak ada otak yang sama. Karena itu, tidak ada teknik belajar mengajar yang sama.
5.        Verba-grafis
Memori akan tertata dengan baik, efektif dan efisien jika diformulasikan dalam bentuk kata dan gambar. Memori akan tertata dengan baik, efektif dan efisien jika diformulasikan dalam bentuk kata dan gambar. Pembuatan catatan yang baik tidak saja untuk melestarikan informasi di buku tulis, tetapi juga memudahkan otak untuk mengkode, menyimpan dan memanggil kembali informasi tersebut.
6.        Imajinasi dan fakta
Imajinasi dan fakta merangsang kerja otak dengan cara yang sama. Kejadian yang bersifat traumatis dan emosional akan merangsang otak bekerja sama persis jika kejadian itu hanya dibayangkan. 
7.        Plastisitas sel saraf
Setiap keping informasi disimpan dalam sel-sel saraf. Tepatnya, disimpan dalam bentuk perubahan molekul-molekul kimia di dalam dan di luar sel saraf. Jika informasi diterima dengan cara yang cocok dengan mekanisme otak, akan terjadi penguatan hubungan antar sel saraf melalui perubahan molekuler. Semakin sering otak dipakai, semakin banyak perubahan molekuler yang terjadi dan semakin kuatlah memori. Perubahan akan semakin cepat terjadi jika berkaitan dengan informasi yang tidak lazim. Hal-hal yang tak lazim lebih cepat merangsang otak.
8.        Simultanitas
Ketika merespon sebuah informasi, seluruh bagian otak bekerja sama secara serempak. Walaupun pusat pengaturan informasi berada di bagian yang berbeda-beda di otak, bagian-bagian itu akan bekerja serempak ketika menerima dan memproses informasi. Ketika melihat sebuah gambar bergerak, bagian otak yang menyerapi bentuk, gerakan, warna dan nuansa emosi akan segera bereaksi. Hasilnya adalah respons yangutuh. Kerja serempak otak ini mirip dengan orkestra yang dipimpin oleh seorang dirigen. Jika seluruh bagian otak dapat dirangsang untuk bekerja secara serempak, penyerapan informasi akan menjadi lebih efektif. Otak memiliki kemampuan mendeteksi perubahan secepat apapun, dalam hitunga detik.
9.        Simbiosis rasio-emosi-spiritualitas
Rasio dan emosi menjadi penopang utama spiritualitas manusia. Jika rasio dan emosi memberikan kepada manusia keunggulan yang bersifat teknik dan diperlukan untuk mengarungi kehidupan dunia, maka spiritualitas memerlukan makna bagi tindakan-tindakan manusia. Spiritualitas yang baik biasanya tampak dari rasio dan emosi yang baik. Otak menyediakan piranti emosi bagi manusia untuk melakukan tindakan yang mengarah pada pemerolehan makna hidup, yaitu1) kesadaran diri, 2) manajemen suasana hati, 3) motovasi diri, 4) empati, dan 5) manajemen relasi sosial. Untuk dapat melakukan lima hal ini, rasio, emosi dan spiritualitas bekerja keras secara simbiosis mutualistik. Ini adalah kunci-kunci sukses kehidupan.[19]
10.    Otak laki-laki-otak perempuan
Dalam belajar, perempuan dan lelaki memiliki learning dan thinking style yang berbeda. Karena itu pengelolaan kelas akan jauh lebih efektif dan optimal jika kedua jenis kelamin ini dibimbing menurut style masing-masing. Model pembelajaran tutorial akan lebih optimal mengerahkan potensi kedua jenis kelamin ini. Namun, ini tidak berarti harus ada pemisahan kelas antara kedua jenis kelamin. Yang paling penting, pendidik harus bisa memahami bagaimana mereka berpikir sehingga lebih mudah membimbing.
F.       Penelitian-Penelitian Neurosains
1.        Mengajar Neuroscience oleh Guru Sains: Pengajaran Berbasis Penemuan
Jurnal ini membahas:
Dalam pendidikan sains, penyelidikan berbasis pendekatan untuk mengajar dan belajar menyediakan kerangka kerja untuk siswa membangun berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah. Guru profesional fokus untuk mempromosikan reformasi pendidikan tersebut. Tulisan  ini melaporkan pada dampak berkelanjutan, pengembangan profesional dalam program gabungan neuroscience dan pengetahuan tentang neurobiologi dengan penyelidikan berbasis pedagogi guru. Observasi kelas menunjukkan nilai profesional, pengembangan dalam memperkuat penerapan penyelidikan berbasis praktik dan budidaya tahunan terbukti progresif. Pertumbuhan di lingkungan kelas. Siswa harus mampu mengidentifikasi masalah, memperoleh dan menggunakan informasi baru, memahami sistem yang kompleks, penggunaan teknologi, dan menerapkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif. Para pendukung abad ke-21 mendukung metode siswa sebagai pusat, misalnya: pembelajaran berbasis masalah.[20]

2.        Budaya Neuroscience dari Diri: Pemahaman Landasan Sosial Otak
Budaya neuroscience adalah bidang interdisipliner penelitian yang meneliti keterkaitan antara budaya, pikiran dan otak. Bidang ini muncul dari penelitian yang bercita-cita memahami bagaimana budaya sebagai campuran dari nilai-nilai, makna, konvensi, dan artefak yang merupakan realitas sosial sehari-hari yang mungkin berinteraksi dengan pikiran dan yang mendasarinya adalah otak manusia di setiap jalur budaya. Dalam tulisan ini, menunjukkan dimana proses otak malleably dibentuk oleh alat-alat budaya dan praktek. Penulis jurnal membahas budaya variasi dalam proses otak yang terlibat dalam representasi diri, kognisi, emosi dan motivasi. Mereka kemudian mengusulkan (i) yang utama nilai-nilai budaya seperti kemandirian dan saling ketergantungan tercermin dalam komposisi tugas budaya (yaitu harian rutinitas yang dirancang untuk mencapai nilai-nilai budaya) dan selanjutnya (ii) bahwa keterlibatan aktif dan berkelanjutan dalam tugas hasil budaya bermotif kegiatan saraf otak, sehingga meletakkan dasar untuk pembangunan diwujudkan dari diri dan identitas.[21] 

3.        Bagaimana untuk mencapai sinergi antara pendidikan kedokteran dan kognitif neuroscience? 
Jurnal ini membahas:
Kognitif neuroscience mencoba untuk memahami bagaimana pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang diproses di otak dan saraf (Goswami 2006). Ada banyak alasan mengapa kognitif neuroscience harus menyampaikan informasi penting terkait dengan pendidikan (TLRP Commentary 2008). Pertama-tama, otak adalah organ utama yang terlibat dalam belajar. Kedua, meningkatkan pendidikan, khususnya pada anak-anak, merupakan prioritas di banyak negara. Ketiga, peningkatan pengetahuan tentang fungsi otak yang mana dapat menginformasikan dan meningkatkan praktik pendidikan. Keempat, neuroscience dengan cepat maju yang disertai dengan momentum yang besar. Kelima, dan cukup relevan, pendekatan berbasis ilmiah dapat mencegah pengenalan praktik pendidikan dipertanyakan di kelas (TLRP Commentary 2008). Keenam, sebuah revolusi multimedia yang terjadi yang akan memungkinkan penyelidikan dan mempromosikan spektrum yang luas mengenai bagaimana manusia belajar (Quellmalz dan Pellegrino 2009). Ketujuh, generasi baru peserta didik mempertahankan teknologi dan melakukan perubahan (Kecil dan Vorgan 2008). 
Alasan itu adalah kognitif neuroscience memiliki pengaruh yang terbatas dalam  pendidikan. Sebuah penjelasan yang masuk akal untuk fenomena ini adalah adanya kesenjangan antara kognitif neuroscience dan pendidikan. Oleh karena itu adalah bagaimana untuk mengisi kesenjangan dan mencapai sinergi antara pendidikan medis dan kognitif neuroscience.[22]

4.        Program Terpadu Neurosains “Sebuah Pendekatan Alternatif Untuk Mengajar Neurosains untuk Siswa Chiropractic”
Tujuan:
Sebagian besar perguruan tinggi chiropractic tidak menawarkan secara kursus neuroscience karena yang sudah ramai kurikulum. Tujuan dari program ini mengenalkan ilmu saraf kepada siswa, merangsang siswa tentang keterkaitan neuroscience dan chiropractic, meningkatkan pemahaman siswa tentang ilmu saraf, dan membantu siswa memahami mekanisme yang mendasari praktik chiropractic. Studi ini memberikan analisis deskriptif tentang bagaimana terintegrasi neuroscience Program ini diajarkan melalui sikap siswa terhadap ilmu saraf dan perbandingan persepsi pengetahuan siswa tentang neuroscience.
Metode:
Sebuah kuesioner yang terdiri dari 58 pertanyaan mengenai neuroscience yang dilakukan oleh 339 siswa. Kuesioner ini dikembangkan oleh anggota fakultas yang terlibat dalam pengajaran neuroscience dan diberikan dalam kelas dengan anggota fakultas yang tidak terlibat dalam penelitian ini. 
Hasil:
Persepsi pengetahuan mahasiswa tentang neuroscience: diketahui bahwa kepercayaan diri, strategi pembelajaran, dan aplikasi pengetahuan meningkat pesat melalui kuartal, terutama di kalangan mahasiswa.  
Kesimpulan:
Program terpadu neuroscience mencapai beberapa tujuan, termasuk peningkatan kepercayaan diri siswa, Sikap positif, kemampuan untuk belajar, dan persepsi pengetahuan tentang neuroscience.[23]

5.        Kemajuan dalam dasar neuroscience, Penelitian di Cina
Oleh: Mu-ming Poo dan Aike Guo
Jurnal ini membahas:
Negara Kunci Laboratorium Otak dan ilmu kognitif, Institut Biofisika, Chinese Academy of Sciences, Beijing 100101, Republik Rakyat Cina, Neuroscience sebagai disiplin yang berbeda atau program penelitian telah menjadi peristiwa yang baru-baru ini di sebagian besar Cina dan universitas di Chinese Academy of Sciences. Namun, beberapa tahun terakhir telah menyaksikan pendanaan meningkat dan lingkungan penelitian ditingkatkan untuk neuroscience, yang keduanya memfasilitasi masuknya ahli saraf Cina dilatih di luar negeri. Dalam ulasan ini, kami telah menyoroti beberapa kemajuan penelitian terbaru yang dilakukan oleh ahli saraf di Cina.  Tinjauan difokuskan terutama pada temuan yang telah berkontribusi terhadap pemahaman tentang mekanisme yang mendasari perkembangan otak, plastisitas saraf dan proses kognitif, dan degenerasi saraf.[24]
6.        Peran prediksi dalam ilmu saraf sosial
Penelitian telah menunjukkan bahwa otak terus membuat prediksi tentang kejadian di masa depan. Teori prediksi dalam persepsi, tindakan dan pembelajaran menunjukkan bahwa otak berfungsi untuk mengurangi kesenjangan antara harapan dan pengalaman aktual, yaitu dengan mengurangi kesalahan prediksi. Model maju tindakan dan persepsi mengusulkan generasi sebuah representasi internal prediksi dari hasil sensorik yang diharapkan, yang cocok dengan umpan balik sensoris yang sebenarnya. Representasi saraf ditemukan saat seseorang sendiri dan mengamati tindakan lain, penghargaan, kesalahan, dan emosi seperti rasa takut dan rasa sakit.[25] 

7.        Neuroscience di Sekolah Menengah: Sebuah Strategi dan model Pengembangan Profesional Guru dalam Kelas Sekolah Kedokteran

Tulisan ini membahas: 
Departemen Neuroscience di University of Minnesota dan Museum Ilmu
Minnesota telah mengembangkan dan melaksanakan program sukses untuk sekolah menengah (kelas 5 - 8) guru dan siswa, yang disebut Brain Science.  Pendidikan di sekolah tentang neuroscience, membangkitkan siswa tentang ilmu pengetahuan, meningkatkan pemahaman mereka tentang ilmu saraf, dan mengembangkan kemitraan antara ilmuwan dan pendidik. Program ini mencakup BrainU, multimedia presentasi dan kegiatan yang dirancang untuk merangsang pemikiran siswa tentang otak, Kegiatan Kelas, mendalam Permintaan berbasis investigasi, Trunks Otak dan, bahan dan sumber daya terkait dengan kegiatan kelas. Evaluasi formal dari program menunjukkan bahwa pengetahuan neuroscience guru, kepercayaan diri, dan penggunaan penyelidikan berbasis strategi dan ilmu saraf di kelas mereka telah meningkat. Guru mengajar ilmu saraf dan mengabdikan lebih banyak waktu untuk "Permintaan-based" mengajar versus "kuliah berbasis mengajar." Guru dihargai atas kemampuan pedagoginya dan ilmu pengetahuan serta diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan kelas lain. Minat siswa di otak dan dalam ilmu meningkat. Sejak menghadiri BrainU, guru telah melaporkan antusiasme meningkat sekitar pengajaran dan telah menjadi ahli ilmu otak dalam komunitas sekolah mereka.[26]

8.        Why Mental Arithmetic Counts: Brain activation during single digit arithmetic predicts high-school math scores. (Apakah perbedaan mekanisme otak individu untuk aritmatika mendasari variabilitas dalam kompetensi matematika SMA?)
Jurnal ini membahas:
Menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI), kami berkorelasi respon otak untuk perhitungan digit tunggal dengan nilai standar pada awal Scholastic Aptitude Test (PSAT) matematika subtest senior inhigh-sekolah. Nilai matematika PSAT, sementara mengendalikan PSAT skor Membaca Kritis, berkorelasi positif dengan aktivasi perhitungan gyrus supramarginal kiri dan bilateral korteks singulata bagian depan, daerah otak yang dikenal sebagai terlibat selama aritmatika fakta pengambilan. Pada saat yang sama, aktivasi yang lebih besar di bagian kanan sulkus intraparietal (IPS) selama perhitungan, daerah didirikan untuk terlibat dalam numerik pengolahan kuantitas, terkait tolower PSAT nilai matematika. Data ini menunjukkan bahwa relatif keterlibatan mekanisme otak yang terkait perhitungan withprocedural versus berbasis memori masalah aritmatika satu digit berhubungan dengan tingkat kompetensi matematika SMA, menyoroti peran mendasar yang aritmatika mental kefasihan memainkan akuisisi kompetensi matematika tingkat yang lebih tinggi.[27]

9.        Developmental cognitive neuroscience of arithmetic: implications for learning and education (Perkembangan kognitif neuroscience aritmatika: implikasi untuk pembelajaran dan pendidikan)
Pada artikel ini, otak dan proses kognitif yang mendasari perkembangan keterampilan aritmatika. Ulasan ini berfokus terutama pada pengembangan keterampilan aritmatika pada anak-anak, tetapi juga merangkum temuan yang relevan dari orang dewasa yang tubuh yang lebih besar penelitian saat ini ada. Kami mengintegrasikan temuan dan teori-teori yang relevan dari psikologi eksperimental dan kognitif neuroscience. Kami menggambarkan neuroanatomy fungsional proses kognitif yang mempengaruhi dan memfasilitasi pengembangan keterampilan aritmatika, termasuk perhitungan, pengambilan, penggunaan strategi, keputusan keputusan, serta memori dan perhatian bekerja. Membangun temuan terbaru dari fungsional studi pencitraan otak, kita menjelaskan peran daerah otak didistribusikan dalam pengembangan keterampilan matematika. Kami menyoroti model perkembangan saraf yang melampaui korteks parietal peran dalam pengolahan angka dasar, yang mendukung beberapa sistem saraf dan jalur yang terlibat dalam matematika pengolahan informasi. Dari sudut pandang ini, kita garis area untuk studi masa depan yang dapat membantu untuk menjembatani kesenjangan antara ilmu saraf kognitif pengembangan keterampilan aritmetika dan praktek pendidikan.[28]

10.    Implications of Affective and Social Neuroscience for Educational Theory
“Implikasi Neurosains Afektif dan Sosial pada Teori Pendidikan
Penelitian tentang emosi dan proses sosial ini menghasilkan dua poin diantaranya: Pertama, emosi dan kognisi saling terkait, dan melibatkan interaksi antara tubuh dan pikiran. Kedua proses, sosial dan pembelajaran terjadi melalui internalisasi penafsiran subjektif kita,  kedua hasil dari neuroscience bisa memiliki implikasi penting untuk desain pembelajaran lingkungan, untuk menemukan ini akan memerlukan rekonsiliasi dibentuk teori belajar pendidikan dengan bukti neurobiological saat ini.[29]












BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan neurosains adalah ilmu yang khusus mempelajari neuron (sel saraf). Sedangkan neurosains pembelajaran adalah ilmu pengetahuan tentang hubungan sistem saraf dengan pembelajaran dan perilaku. Dapat diketahui bahwa otak terbagi menjadi empat yaitu: pertama, Cerebrum atau otak besar, Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan bagian otak yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual. Kedua, Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Ketiga, Brainstem (Batang Otak), Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya. Keempat, Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang.










DAFTAR PUSTAKA

Brown, C. Elliot and Martin Brüne, The Role of Prediction In Social Neuroscience, Frontiers in Human Neuroscience, Vol. 6, 147, 2012

Dharma, Agus Dharma, (ed), Pengantar Psikologi Edisi Kedelapan Edisi II, Jakarta: Erlangga, 1983
Dharma, Agus, (ed), Pengantar Psikologi Edisi Kedelapan Edisi I, Jakarta: Erlangga, 1983

DJ, Ruiter, Van Kesteren MT, Fernandez G, How To Achieve Synergy Between Medical Education and Cognitive Neuroscience? An Exercise on Prior Knowledge In Understanding, (NCBI) Adv Health Sci Educ Theory Pract., 17(2):225-240, 2012

He, Xiaohua, MD, James La Rose, MD, and Niu Zhang, MD Integrated Neuroscience Program an Alternative Approach to Teaching Neurosciences to Chiropractic Students, Chiropractic Education Journal, Vol. 23, No. 2, 2009
http://www.news-medical.net/news/20110928/13614/Indonesian.aspx                  
Immordino, Helen Mary, Implications of Affective and Social Neuroscience for Educational Theory, Educational Philosophy and Theory,Vol. 43, No. 1, 2011
Kalat, W.J, Biopsikologi, Jakarta: Salemba Humanika, 2010
Ki Fudyartanta, Psikologi Umum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011
Kitayama, Shinobu and Jiyoung Park, Cultural Neuroscience of The Self: Understanding The Social Grounding of The Brain, Social Cognitive and Affective Neuroscience, Vol. 5 (2-3), 111-129, 2010
Kushartanti, Wara, Neurosains dalam Pembelajaran di TK, dalam file pdf
Menon, Menon, Developmental Cognitive Neuroscience of Arithmetic: Implications for Learning and Education, NCBI (US National Library of Medicine), 42(6): 515–525
Nabb, Macc Carrie, Neuroscience in Middle Schools: A Professional Development and Resource Program That Models Inquiry-based Strategies and Engages Teachers in Classroom Implementation, CBE—Life Sciences Education, Vol. 5, 144–157, 2006
Pasiak, Taufik, Brain Management for self improvement, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007
Pasiak, Taufik, Manajemen Kecerdasan Memberdayakan IQ, EQ dan SQ untuk Kesuksesan Hidup, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2006
Po, Muming and Aike Guo, Some Recent Advances In Basic Neuroscience Research in China, Philosophical Transactions of The Royal Society, vol. 362 no. 1482, 1083-1092, 2007
Price, R Gavin, Michèle Mazzocco, and Daniel Ansari, Why Mental Arithmetic Counts: Brain activation during single digit arithmetic predicts high-school math scores, Behavioural/Systems/Cognitive, Journal of Neuroscience, 33(1):156 (2013)
Roehrig, G. H, M. Michlin, L. Schmitt, C. MacNabb, dan J. M. Dubinsky, Neuroscience Teaching Science for Teachers: Facilitating Translation of Teaching Inquiry-Based Instruction for the Classroom, CBE-Life Sciences Education, Vol. 11, 413-424, 2012
Ruben, Mark Jean & Ann Daufur, 49 Langkah Mencerdaskan Otak Merawat Daya Pikir Sejak Dini, Jakarta: Almahira, 2009
Schunk, H. Dale, Learning Theories An Educational Perspektif, terj. Eva Hamidah dan Rahmat Fajar, Cet. I, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012
Semiawan, R Conny, Kreativitas Keberbakatan: Mengapa, Apa, dan Bagaimana, Jakarta: PT Indeks, 2009





[1] Taufik Pasiak, Manajemen Kecerdasan Memberdayakan IQ, EQ dan SQ untuk Kesuksesan Hidup, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2006), hlm. 46.
[2] Dale H. Schunk, Learning Theories An Educational Perspektif, terj. Eva Hamidah dan Rahmat Fajar, Cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 20.
[3] Ki Fudyartanta, Psikologi Umum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 103.
[4] Agus Dharma, (ed), Pengantar Psikologi Edisi Kedelapan Edisi I, (Jakarta: Erlangga, 1983), hlm. 44.
[5] Agus Dharma, (ed), Pengantar Psikologi Edisi Kedelapan Edisi I, (Jakarta: Erlangga, 1983), hlm. 47
[6] Dr. Jean Mark Ruben & Ann Daufur, 49 Langkah Mencerdaskan Otak Merawat Daya Pikir Sejak Dini, (Jakarta: Almahira, 2009), hlm. 7
[7] Dale H. Learning Theories..., hlm. 48
[8] Dale H., Learning Theories....., hlm. 49-50.
[9] Agus Dharma, (ed), Pengantar Psikologi Edisi Kedelapan Edisi II, (Jakarta: Erlangga, 1983), hlm. 83  
[10] Agus Dharma, (ed), Pengantar...., hlm. 85
[11] Pasiak, Manajemen....,hlm. 74.
[12] Conny R. Semiawan, Kreativitas Keberbakatan: Mengapa, Apa, dan Bagaimana, (Jakarta: PT Indeks, 2009), hlm.  54.
[13] J.W. Kalat, Biopsikologi, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010) hlm. 134.
[14] Ibid., hlm. 134.
[15] Wara Kushartanti, Neurosains dalam Pembelajaran di TK, dalam file pdf.
[16] Taufik Pasiak, Brain Management for self improvement, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), hlm. 239.
[17] Pasiak, Manajemen....., hlm. 47
[18] Ibid., hlm. 52
[19] Ibid., hlm. 60
[20] G. H. Roehrig, M. Michlin, L. Schmitt, C. MacNabb, dan J. M. Dubinsky, Neuroscience Teaching Science for Teachers: Facilitating Translation of Teaching Inquiry-Based Instruction for the Classroom, CBE-Life Sciences Education, Vol. 11, 413-424, 2012.
[21] Shinobu Kitayama and Jiyoung Park, Cultural Neuroscience of The Self: Understanding The Social Grounding of The Brain, Social Cognitive and Affective Neuroscience, Vol. 5 (2-3), 111-129, 2010.

[22] Ruiter DJ, Van Kesteren MT, Fernandez G, How To Achieve Synergy Between Medical Education and Cognitive Neuroscience? An Exercise on Prior Knowledge In Understanding, (NCBI) Adv Health Sci Educ Theory Pract., 17(2):225-240, 2012.

[23] Xiaohua He, MD, James La Rose, MD, and Niu Zhang, Integrated Neuroscience Program an Alternative Approach to Teaching Neurosciences to Chiropractic Students, Chiropractic Education Journal, Vol. 23, No. 2, 2009.
[24] Mu-ming Poo and Aike Guo, Some Recent Advances In Basic Neuroscience Research in China, Philosophical Transactions of The Royal Society, vol. 362 no. 1482, 1083-1092, 2007.

[25] Elliot C. Brown and Martin Brüne, The Role of Prediction In Social Neuroscience, Frontiers in Human Neuroscience, Vol. 6, 147, 2012.

 

[26] Carrie Mac Nabb, Neuroscience in Middle Schools: A Professional Development and Resource Program That Models Inquiry-based Strategies and Engages Teachers in Classroom Implementation, CBE—Life Sciences Education, Vol. 5, 144–157, 2006
[27] Gavin R. Price, Michèle Mazzocco, and Daniel Ansari, Why Mental Arithmetic Counts: Brain activation during single digit arithmetic predicts high-school math scores, Behavioural/Systems/Cognitive, Journal of Neuroscience 33(1):156 (2013)
[28] Venod Menon, Developmental Cognitive Neuroscience of Arithmetic: Implications for Learning and Education, NCBI (US National Library of Medicine), 42(6): 515–525.
[29] Mary Helen Immordino, Implications of Affective and Social Neuroscience for Educational Theory, Educational Philosophy and Theory,Vol. 43, No. 1, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar